IDRealita– Pemerintah dinilai super tega pada masyarakat dengan meluncurkan produk gas LPG 3 kilogram non-subsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal. Sementara di tengah masyarakat yang saat ini kesulitan mendapatkan gas LPG 3 kilogram bersubsidi.
Pemerintah bukan mengatasi kelangkaan gas LPG bersubsidi itu, malah meluncurkan produk LPG 3 kilogram non-subsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, mengeritik langkah pemerintah meluncurkan produk LPG 3 kilogram non-subsidi bermerek Bright.
“Kebijakan itu akan membuat pengadaan dan pendistribusian LPG 3 kilogram bersubsidi semakin terbatas dan sulit. Ujung-ujungnya masyarakat dipaksa membeli LPG 3 kilogram nonsubsidi,” kata muryanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/07/2023).
Ia memperkirakan hadirnya LPG 3 kilogram non subsidi itu akan meningkatkan tindak penyalahgunaan LPG 3 kilogram bersubsidi oleh pihak tertentu. Mengingat selisih harga jualnya sangat besar. Dimana saat ini Pertamina menjual LPG 3 kilogram merek Bright seharga Rp56.000 terbatas di Jakarta dan Surabaya. Sementara gas melon 3 kilogram bersubsidi sebesar Rp20.000.
“Pertamina saat ini menjual LPG 3 kilogram merek Bright seharga Rp56.000 terbatas di Jakarta dan Surabaya, jauh lebih mahal dari gas melon 3 kilogram bersubsidi yang sekitar Rp20.000. Produksi gas pink 3 kg ini rawan penyimpangan,” kata Mulyanto.
“Selama ini salah satu modus penyimpangan gas melon bersubsidi yang ditemukan aparat adalah pengoplosan, yang memindahkan isi gas elpiji dari tabung melon 3 kilogram bersubsidi ke dalam tabung 12 kilogram non-Pemerintah Super Tega subsidi,” jelasnya.
“Modus ini tidak lain mengubah dari barang bersubsidi dijual menjadi barang non-subsidi yang berharga mahal,” ungkapnya.
Menurut Mulyanto, produk gas elpiji pink berukuran 3 kilogram yang berukuran sama persis dengan gas melon 3 kilogram bersubsidi, akan makin memudahkan pengoplosan. Apalagi marjinnya besar, mencapai Rp36.000 per tabung. Pengoplosan bisa semakin marak.
“Dari ukuran yang berbeda saja terjadi pengoplosan gas elpiji, apalagi kalau barang dan ukurannya serupa. Kasarnya, tinggal cat ulang saja dari tabung berwarna melon menjadi pink, maka berubah dari barang bersubsidi menjadi barang non-subsidi. Ini kan semakin rawan. Inikan sebentuk dualitas produk. Di mana komoditas yang sama, dijual dengan harga yang berbeda. Yang satu bersubsidi dan yang lain non-subsidi,” jelas Mulyanto.
Sebagai informasi, di tengah harga gas LPG dunia yang terus merosot hampir setengahnya sejak puncaknya di awal tahun 2022, harga LPG di Indonesia tetap bertahan.
Yang terjadi justru sebaliknya, muncul kelangkaan gas LPG 3 kilogram dan harganya juga melejit. Demikian dilaporkan dari berbagai daerah seperti Balikpapan, Makassar, Bali, Banyuwangi, Sumatera Barat, dan lain-lain.
Ada penumbuhan demand pasca pandemi Covid-19. Namun diperkirakan oleh Pertamina, over kuota tersebut tidak lebih dari 2,7 persen atau kekurangan sebesar 0.3 juta ton LPG 3 kilogram. (red)
